Selular.id – Upaya pemulihan infrastruktur telekomunikasi pasca banjir besar di Aceh masih menghadapi kendala utama: pasokan listrik.
Menteri Komunikasi dan Digital (Komdigi) Meutya Hafid melaporkan, sebanyak 60,7% Base Transceiver Station (BTS) di wilayah tersebut belum dapat beroperasi meski perangkatnya dalam kondisi baik, semata-mata karena ketiadaan daya.
Bencana banjir yang menerjang Aceh pada 28 November 2025 tengah malam lalu tidak hanya menelan korban jiwa, tetapi juga merusak berbagai infrastruktur vital.
Dalam rapat kerja dengan Komisi I DPR RI, Selasa (9/12/2025), Meutya mengungkapkan bahwa pemulihan jaringan di provinsi tetangga seperti Sumatra Utara dan Sumatra Barat sudah mencapai 95% dan 97-98%.
Namun, Aceh masih menjadi pekerjaan rumah terbesar.
“Kita masih punya PR di Aceh, yaitu 60,7% masih terdampak, ini dikarenakan power,” tegas Menteri Meutya Hafid, seperti dikutip dari ruang rapat.
Ia memproyeksikan bahwa pemulihan BTS bisa langsung melonjak hingga 75% jika pasokan listrik dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) sudah pulih.
Pernyataan ini menggarisbawahi ketergantungan mutlak infrastruktur telekomunikasi terhadap ketersediaan energi.
Kondisi ini menunjukkan kompleksitas penanganan pascabencana, di mana pemulihan di satu sektor sangat bergantung pada sektor lainnya.
Komdigi mengakui bahwa percepatan pemulihan konektivitas di Aceh saat ini sangat bergantung pada kinerja PLN.
Koordinasi lintas sektor ini menjadi titik kritis dalam memulihkan kehidupan masyarakat yang terdampak.
“Kami akui untuk di Aceh kami masih perlu bekerja lebih giat lagi terkhusus bekerja sama dengan PLN, karena saat ini memang listriknya belum pulih sehingga BTS-BTS belum dapat berjalan dengan baik,” kata Meutya menambahkan.
Tantangan ini terjadi di tengah upaya berbagai pihak, seperti yang dilakukan XL Axiata melalui XL Siap Membantu dan Tanggap (XLSMART) yang terus melanjutkan pemulihan jaringan dan penyaluran bantuan di Sumatra.
Baca Juga:
Solusi Satelit dan Kendala Teknis di Lapangan
Untuk mengatasi keterputusan komunikasi sementara dan menjamin koordinasi tim Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) serta pemerintah daerah, Komdigi mengerahkan solusi konektivitas berbasis satelit.
Sebanyak 17 titik dilayani oleh Satelit Republik Indonesia (SATRIA-1) dan 91 titik lainnya menggunakan layanan satelit Starlink.
Penempatan titik-titik bantuan internet satelit ini dilakukan berdasarkan usulan dari masyarakat dan anggota Komisi I DPR.
Namun, penggunaan teknologi satelit, khususnya Starlink, ternyata tidak lepas dari keterbatasan teknis di medan bencana.
Dalam rapat yang sama, Anggota Komisi I DPR RI, Rachel Maryam, menyampaikan laporan dari relawan lapangan mengenai kendala operasional yang dihadapi.
“Starlink itu kalau dia dalam keadaan diam dia bisa beroperasi, tapi kalau dia bergerak katanya dia hilang jaringannya,” ujar Maryam.
Keterbatasan stabilitas sinyal saat bergerak ini menambah kerumitan operasi penyelamatan dan distribusi logistik di Aceh, yang menuntut mobilitas tinggi dari tim di lapangan.
Kendala teknis semacam ini menjadi catatan penting dalam penyediaan bantuan komunikasi darurat di masa depan.
Fenomena pemanfaatan bantuan teknologi ini juga memunculkan dinamika lain, seperti laporan mengenai internet Starlink gratis di Aceh yang disewakan kepada warga.
Ketergantungan pada PLN dan Upaya Pemulihan Bertahap
Fokus utama saat ini adalah bagaimana menyinkronkan pemulihan jaringan listrik dengan pengaktifan kembali menara-menara BTS.
Proyeksi Menteri Meutya bahwa pemulihan BTS bisa mencapai 75% begitu listrik menyala menunjukkan bahwa sebagian besar infrastruktur telekomunikasi sebenarnya sudah siap secara teknis. Tantangannya adalah menunggu pasokan daya yang stabil dari PLN.
Skenario ini berbeda dengan tahap awal pemulihan pascabencana, di mana pekerjaan lebih difokuskan pada perbaikan fisik menara BTS yang rusak, seperti yang pernah dilaporkan sebelumnya mengenai pemulihan 707 BTS di Sumatera.
Fase saat ini di Aceh justru lebih banyak bergantung pada faktor eksternal di luar kendali operator telekomunikasi.
Upaya pemulihan di daerah bencana seringkali membutuhkan terobosan.
Seperti yang dicontohkan oleh Telkomsel yang berhasil menembus keterbatasan akses untuk mempercepat pemulihan jaringan di Takengon, koordinasi yang solid antar pemangku kepentingan menjadi kunci.
Kolaborasi antara Kominfo, operator seluler, PLN, dan pemerintah daerah sangat menentukan kecepatan masyarakat Aceh kembali terhubung.
Pemulihan jaringan telekomunikasi bukan sekadar menyambungkan kembali kabel atau menyalakan menara.
Ini adalah urat nadi bagi koordinasi bantuan, informasi bagi pengungsi, dan akses layanan darurat.
Ketergantungan pada listrik yang terungkap dalam laporan ini menjadi pengingat betapa infrastruktur digital modern sangat rentan ketika pasokan energi dasar terganggu, terutama di saat-saat kritis pascabencana.
Perkembangan pemulihan di Aceh akan terus dipantau, dengan harapan koordinasi antara Kominfo dan PLN dapat segera mengatasi hambatan pasokan listrik ini.
Kesigapan dalam memulihkan konektivitas akan sangat berdampak pada efektivitas fase rehabilitasi dan rekonstruksi untuk membangun kembali kehidupan masyarakat Aceh yang terdampak banjir.



