Selular.id – Memasuki pekan ketiga pasca-bencana banjir bandang dan tanah longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, upaya pemulihan infrastruktur telekomunikasi menunjukkan kemajuan signifikan.
Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) melaporkan bahwa 97,8% base transceiver station (BTS) yang terdampak telah kembali beroperasi.
Pemulihan akses komunikasi ini menjadi titik terang di tengah kabar duka, di mana Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat total korban meninggal dunia mencapai 1.006 jiwa per Sabtu (13/12/2025).
Menteri Komunikasi dan Digital, Meutya Hafid, menekankan bahwa pemulihan jaringan adalah kebutuhan mendesak dalam situasi tanggap darurat.
“Dengan pemulihan mencapai 97,8 persen, masyarakat Sumatra Utara dapat kembali memperoleh informasi penting dan menghubungi keluarga,” ujar Meutya dalam keterangannya, Minggu (14/12/2025).
Data per Sabtu menunjukkan, dari total 4.368 BTS yang terdampak, sebanyak 4.273 unit telah berfungsi kembali.
Komdigi memastikan pemantauan layanan komunikasi di wilayah terdampak akan terus dilakukan hingga kondisi benar-benar stabil.
Pemulihan yang hampir menyeluruh ini merupakan hasil dari kerja keras berbagai pihak, termasuk operator telekomunikasi dan tim tanggap darurat.
Sebelumnya, upaya serupa juga telah dilakukan seperti yang dilaporkan dalam artikel Telkomsel dan IOH Percepat Pemulihan Jaringan Pascabencana Sumatera.
Restorasi jaringan tidak hanya vital untuk koordinasi evakuasi dan logistik bantuan, tetapi juga menjadi penghubung emosional bagi korban yang terpisah dari keluarga.
Namun, di balik angka pemulihan yang menggembirakan, luka akibat bencana masih sangat dalam.
Abdul Muhari, Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, memberikan rincian pertambahan korban meninggal.
“Perubahan ini terjadi di Aceh dari 411 ke 415 jiwa korban meninggal dunia, kemudian Sumatera Utara dari 343 menjadi 349, dan Sumatera Barat dari 241 ke 242,” jelasnya.
Selain itu, masih ada 217 orang yang dinyatakan hilang dan pengungsi yang tercatat mencapai 654.642 orang.
Baca Juga:
Bencana yang melanda tiga provinsi di ujung barat Indonesia ini telah menguji ketangguhan infrastruktur digital nasional.
BTS, yang merupakan menara pemancar sinyal seluler, menjadi tulang punggung komunikasi modern.
Kerusakan fisik pada menara, gangguan pasokan listrik, dan akses jalan yang terputus menjadi tantangan utama dalam proses perbaikan.
Upaya pemulihan seringkali harus dilakukan dalam kondisi medan yang masih sulit dan berisiko.
Kisah perjuangan memulihkan konektivitas ini juga tercermin dari laporan sebelumnya tentang pulihnya 707 menara BTS di wilayah yang sama, yang menjadi fondasi bagi pemulihan lebih luas yang terjadi sekarang.
Komitmen untuk menjaga konektivitas di tengah bencana bukan hal baru bagi industri telekomunikasi Indonesia.
Berbagai operator telah memiliki protokol tanggap darurat, termasuk penyiapan BTS darurat, pengalihan trafik, dan kerja sama dengan pihak lain.
Seperti yang dilakukan Indosat, yang dalam perkembangan terbaru berhasil memastikan sebagian besar site-nya di Sumatera Bagian Utara tetap beroperasi, sebagaimana diungkap dalam laporan Indosat Pastikan 71,68% Site di Sumbagut Tetap Berfungsi Pascabanjir.
Langkah-langkah seperti ini sangat krusial untuk menjaga agar saluran komunikasi darurat tetap terbuka.
Di sisi lain, bencana ini juga memicu gelombang solidaritas dari berbagai kalangan, termasuk korporasi.
Bantuan tidak hanya datang dalam bentuk perbaikan infrastruktur, tetapi juga bantuan kemanusiaan langsung kepada korban.
Sebagai contoh, komitmen untuk membantu masyarakat terdampak juga ditunjukkan oleh perusahaan elektronik seperti Sharp, yang turut menyalurkan bantuan, seperti diberitakan dalam Sharp Perkenalkan Slogan Baru dan Salurkan Bantuan untuk Korban Banjir Sumatra.
Bentuk kepedulian semacam ini menunjukkan bahwa dampak bencana memerlukan respons holistik, tidak hanya dari sisi teknis tetapi juga sosial.
Fase tanggap darurat yang mulai bergeser ke pemulihan pascabencana membawa tantangan baru.
Keberlanjutan layanan telekomunikasi akan menjadi kunci untuk mendukung pemulihan ekonomi, pendidikan, dan kehidupan sosial masyarakat.
Sekolah-sekolah darurat mulai didirikan, aktivitas ekonomi perlahan harus dihidupkan kembali, dan semua itu membutuhkan konektivitas yang andal.
Dalam konteks jangka panjang, bencana ini juga menyisakan pelajaran berharga tentang ketahanan infrastruktur digital di daerah rawan bencana.
Pemulihan 97,8% jaringan telekomunikasi adalah pencapaian teknis yang patut diapresiasi.
Namun, angka itu harus dilihat bersamaan dengan realita korban jiwa dan pengungsi yang masih sangat besar.
Koneksi internet yang kembali normal diharapkan dapat memperlancar distribusi bantuan, memudahkan pencarian orang hilang, dan menjadi sarana bagi masyarakat untuk membangun kembali kehidupan mereka.
Komdigi dan semua pemangku kepentingan dituntut untuk terus bekerja hingga sisa 2,2% BTS yang belum beroperasi dapat dipulihkan, dan yang lebih penting, memastikan layanan komunikasi tetap stabil untuk mendukung fase rehabilitasi dan rekonstruksi yang akan berlangsung lama.
Semangat gotong royong digital ini, sebagaimana pernah terlihat dalam inisiatif seperti Mobil Klinik Indosat yang mendistribusikan bantuan di Sumatera Barat, kembali dibutuhkan untuk membangun kembali wilayah yang luluh lantak.




