Selular.id – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melaporkan bahwa penipuan transaksi belanja dan fake call (panggilan palsu) mendominasi kejahatan digital di sektor keuangan, dengan total kerugian masyarakat mencapai Rp11,1 triliun.
Data ini mengungkapkan betapa masifnya ancaman penipuan berbasis teknologi yang kini semakin canggih, bahkan menjerat korban dari kalangan berpendidikan.
Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Pelindungan Konsumen OJK, Friderica Widyasari Dewi, menyatakan bahwa para pelaku kejahatan kini memanfaatkan kecerdasan buatan (AI) untuk melakukan fake call dan rekayasa sosial (social engineering).
“Mereka menggunakan AI untuk melakukan fake call, kemudian melakukan social engineering, dan lain-lain. Ini juga sangat memprihatinkan,” ujar Friderica, yang akrab disapa Kiki yang Selular kutip, Selasa (2/12/2025).
Kiki juga menyinggung maraknya penipuan berkedok hadiah dan lowongan kerja yang kerap disebarkan melalui pesan WhatsApp atau SMS.
Menurutnya, aktivitas para scammer semakin masif, sehingga edukasi kepada masyarakat menjadi hal yang sangat krusial.
Fenomena ini terjadi di tengah pertumbuhan ekonomi Indonesia yang ditopang transaksi digital, yang sayangnya juga dimanfaatkan oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab.
Baca Juga:
Data Kerugian dan Modus Penipuan yang Paling Merugikan
Berdasarkan data OJK, penipuan transaksi belanja tercatat sebagai modus dengan laporan tertinggi, yakni sebanyak 62.999 kasus.
Total kerugian dari modus ini diperkirakan mencapai Rp11,1 triliun, dengan rata-rata kerugian per kasus sebesar Rp16,97 juta.
Modus ini kerap menyasar korban dengan iming-iming barang murah atau diskon besar, yang akhirnya tidak kunjung dikirim setelah pembayaran dilakukan.
Modus fake call menyusul di posisi kedua dengan 38.498 laporan.
Teknik ini menimbulkan kerugian sekitar Rp1,5 triliun dengan rata-rata kerugian per kasus yang lebih tinggi, yaitu Rp36,07 juta.
Dalam fake call, pelaku sering berpura-pura sebagai petugas bank, lembaga pemerintah, atau pihak berwajib untuk menipu korban agar memberikan data pribadi atau mentransfer sejumlah uang.
Modus penipuan lainnya yang banyak dilaporkan antara lain penipuan investasi dengan 24.139 laporan (kerugian Rp1,35 triliun, rata-rata Rp45,79 juta), penipuan kerja sebanyak 21.283 laporan (kerugian Rp704,50 miliar), dan penipuan hadiah 17.481 laporan (kerugian Rp224,92 miliar).
Penipuan melalui media sosial juga signifikan dengan 16.945 laporan dan kerugian Rp573 miliar.
Selain itu, OJK mencatat laporan phising sebanyak 15.633 kasus (kerugian Rp598,61 miliar), social engineering 10.475 laporan (kerugian Rp384,89 miliar), pinjaman online fiktif 5.469 laporan (kerugian Rp43,35 miliar), serta scam melalui APK (aplikasi) WhatsApp sebanyak 3.902 laporan (kerugian Rp136,98 miliar).
Keragaman modus ini menunjukkan bahwa masyarakat harus waspada di berbagai platform, termasuk terhadap ancaman penipuan online yang makin canggih dengan dukungan teknologi.
Love Scam Jadi Tren Global yang Diwaspadai Regulator
Friderica Widyasari Dewi juga menyoroti tren global yang kini menjadi perhatian regulator internasional, yaitu love scam atau relationship scam.
Dia menjelaskan bahwa modus ini tengah merebak di berbagai negara seiring meningkatnya rasa kesepian di masyarakat, sehingga banyak orang mudah terjebak dalam penipuan berbasis hubungan personal tersebut.
“Jadi ini sangat luar biasa, bahkan ini masuk ke dalam bahasan khusus di pertemuan regulator-regulator di dunia terkait scam ini,” katanya.
Penipuan ini biasanya dimulai di platform media sosial atau aplikasi kencan, di mana pelaku membangun hubungan emosional dengan korban sebelum akhirnya meminta uang dengan berbagai alasan.
Peningkatan kompleksitas penipuan ini, dari yang konvensional hingga memanfaatkan AI, menuntut kewaspadaan ekstra dari konsumen.
Edukasi menjadi senjata utama, tidak hanya tentang mengenali modus, tetapi juga tentang praktik keamanan digital dasar.
Di sisi lain, inovasi teknologi juga digunakan untuk melawan penipuan, seperti yang dilakukan beberapa platform dengan mengintegrasikan fitur belanja yang lebih aman.
Data OJK ini menjadi pengingat keras bahwa di balik kemudahan transaksi digital, terdapat risiko yang harus dikelola bersama oleh regulator, penyedia jasa keuangan, dan masyarakat sendiri.
Kolaborasi melalui pusat anti-penipuan seperti IASC diharapkan dapat menekan angka kejahatan siber ini di masa mendatang, melindungi aset masyarakat, dan menjaga kepercayaan dalam ekosistem keuangan digital Indonesia.



