Selular.id – Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) melalui Direktorat Jenderal Pengawasan Ruang Digital (Ditjen PRD) tengah mengambil langkah tegas terhadap praktik penyalahgunaan data pribadi.
Pihaknya mengajukan permohonan penghapusan atau delisting tujuh aplikasi yang diduga terkait praktik debt collector atau ‘mata elang’ dari Google Play Store.
Aplikasi-aplikasi tersebut, termasuk Go Matel, Data Matel, dan Dewa Matel, diduga menjual dan menyalahgunakan data nasabah leasing motor secara ilegal.
Alexander Sabar, Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital, mengonfirmasi proses yang sedang berjalan.
“Untuk sementara, kami masih proses,” ujarnya kepada media pada Jumat (19/12/2025).
Ia melanjutkan, “Saat ini, kami telah menindaklanjuti 7 (tujuh) aplikasi yang diduga berkaitan dengan praktik mata elang dengan mengajukan permohonan penghapusan (delisting) kepada Google.”
Meski demikian, Kominfo belum merilis daftar resmi nama ketujuh aplikasi tersebut.
Google sendiri disebut sedang melakukan verifikasi lanjutan terhadap aplikasi lain yang belum diturunkan.
Tindakan ini merupakan bagian dari upaya Komdigi memperkuat koordinasi dengan instansi pengawas sektor dan platform digital.
Tujuannya adalah memastikan ruang digital tetap aman serta melindungi masyarakat dari praktik penyalahgunaan data pribadi dan aktivitas ilegal.
Penanganan kasus ini merujuk pada Peraturan Menteri Kominfo Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Sistem Elektronik Lingkup Privat.
Proses penindakan dilakukan melalui tahapan pemeriksaan, analisis, serta rekomendasi pemutusan akses berdasarkan surat resmi dari instansi terkait seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) atau Kepolisian.
Dugaan Penjualan Data Nasabah Leasing
Latar belakang tindakan ini adalah dugaan kuat bahwa aplikasi-aplikasi mata elang tersebut memanfaatkan data konsumen yang seharusnya bersifat rahasia.
Data nasabah leasing motor diduga dijual dan disalahgunakan oleh pihak tertentu untuk kepentingan debt collection.
Praktik ini telah menarik perhatian aparat penegak hukum.
Sebelumnya, Polda Metro Jaya juga telah melakukan penyelidikan terhadap aplikasi serupa yang digunakan debt collector untuk mencari sasaran.
Penyelidikan terhadap kebocoran dan penyalahgunaan data ini masih berlangsung.
Jika terbukti, pemilik aplikasi berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (PDP).
UU PDP memberikan mandat dan sanksi yang jelas terhadap setiap pihak yang mengumpulkan, memproses, atau mengungkap data pribadi tanpa dasar hukum dan persetujuan yang sah dari pemilik data.
Kasus ini menjadi ujian nyata penerapan UU PDP di tengah maraknya praktik digital yang berpotensi merugikan konsumen.
Langkah blokir atau delisting aplikasi dari toko digital seperti Google Play Store bukanlah hal baru dalam upaya pengawasan konten digital.
Pemerintah melalui Kominfo memiliki kewenangan untuk meminta platform mengambil tindakan terhadap konten atau aplikasi yang melanggar hukum.
Sebelumnya, terdapat kasus di mana Kominfo memblokir situs tertentu berdasarkan permintaan instansi berwenang, menunjukkan mekanisme serupa yang diterapkan untuk menjaga ekosistem digital.
Baca Juga:
Proses dan Tantangan Pengawasan Aplikasi
Proses pengajuan delisting aplikasi ke Google melibatkan koordinasi yang kompleks.
Setelah menerima laporan atau temuan dari instansi sektor, seperti OJK dalam kasus pinjaman online ilegal atau Polri dalam kasus pidana siber, Komdigi akan melakukan analisis mendalam.
Analisis ini mencakup pemeriksaan terhadap pelanggaran ketentuan perundang-undangan, termasuk UU ITE, UU PDP, dan peraturan sektoral lainnya.
Setelah dinyatakan melanggar, rekomendasi resmi kemudian diajukan kepada penyedia platform, dalam hal ini Google.
Google sebagai pengelola Google Play Store memiliki kebijakan dan standar komunitasnya sendiri.
Platform tersebut akan melakukan verifikasi internal terhadap permintaan dari pemerintah sebelum akhirnya memutuskan untuk menurunkan aplikasi.
Proses ini membutuhkan waktu dan bukti yang kuat.
Tantangan lainnya adalah dinamika di mana pengembang aplikasi dapat dengan cepat membuat varian atau aplikasi baru dengan nama berbeda, sehingga memerlukan pengawasan yang berkelanjutan dan proaktif.
Kasus aplikasi mata elang ini juga menyoroti pentingnya literasi digital dan kehati-hatian pengguna dalam memberikan data pribadi.
Pengguna aplikasi finansial atau layanan digital lainnya perlu memastikan bahwa mereka berinteraksi dengan entitas yang legal dan terdaftar di OJK.
Perlindungan data dimulai dari kesadaran pengguna untuk tidak mudah membagikan informasi sensitif kepada pihak yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Upaya penegakan hukum oleh pemerintah perlu diimbangi dengan edukasi kepada masyarakat.
Langkah Komdigi ini sejalan dengan tren global yang semakin ketat dalam pengawasan platform digital dan perlindungan data.
Berbagai negara telah mengambil tindakan tegas terhadap platform yang dianggap membahayakan privasi atau melanggar hukum.
Seperti yang terjadi pada beberapa perusahaan besar yang menghadapi tekanan regulasi, ekosistem digital kini berada di bawah pengawasan yang lebih ketat.
Keberhasilan penindakan terhadap tujuh aplikasi mata elang ini akan menjadi preseden bagi penanganan kasus serupa di masa depan, sekaligus mengirimkan sinyal kuat bahwa praktik penyalahgunaan data tidak akan ditoleransi.
Kedepan, perkembangan kasus ini akan ditentukan oleh hasil verifikasi Google dan kelanjutan penyelidikan hukum oleh kepolisian.
Masyarakat dan pelaku industri menunggu kejelasan lebih lanjut mengenai identitas ketujuh aplikasi yang dimaksud serta proses hukum yang akan dijalankan terhadap pelaku dugaan penjualan data.
Upaya kolaboratif antara regulator, penegak hukum, dan platform digital menjadi kunci untuk menciptakan ruang digital Indonesia yang lebih aman dan bertanggung jawab, sebagaimana komitmen yang juga pernah diungkapkan oleh pelaku industri aplikasi lainnya tentang pentingnya keamanan dan kepercayaan pengguna.




