Kamis, 11 Desember 2025
Selular.ID -

BTS di Aceh Naik Turun, Pasokan Listrik Jadi Penentu Hidup Mati Jaringan

BACA JUGA

Selular.id – Pemulihan jaringan telekomunikasi pascabencana di Aceh masih menghadapi tantangan besar akibat ketidakstabilan pasokan listrik.

Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika (Wamenkominfo) Nezar Patria mengungkapkan, jumlah Base Transceiver Station (BTS) atau menara pemancar yang aktif di provinsi tersebut masih fluktuatif, dengan angka terakhir sekitar 52% dari total yang ada.

Nezar menjelaskan bahwa kondisi BTS yang “naik turun” atau up and down ini terutama disebabkan oleh belum normalnya suplai listrik di daerah terdampak banjir bandang dan tanah longsor.

“Angkanya tuh up and down ya, up and down itu karena suplai listrik. Jadi kita pernah 54%, lalu pernah juga 62 persen gitu ya,” kata Nezar dalam keterangannya, Kamis (11/12/2025).

Untuk menjaga agar BTS tetap beroperasi, Kementerian Kominfo terpaksa mengandalkan generator set (genset) yang menggunakan bahan bakar minyak (BBM).

“Karena genset-genset ini tidak ada suplai listrik, jadi kita nyalakan dengan genset pakai BBM. Maksudnya BTS-BTS ini, ini kita nyalakan dengan genset,” tuturnya.

Koordinasi intensif dengan Pertamina dilakukan untuk memastikan pasokan BBM, yang diklaim Nezar kondisinya sudah membaik.

Target Pemulihan 75% dan Koordinasi dengan PLN

Meski menghadapi kendala listrik, pemerintah menargetkan pemulihan BTS di Aceh dapat mencapai level 75%.

Target ini menjadi fokus utama untuk memperlancar distribusi bantuan logistik dan komunikasi di daerah-daerah yang masih kritis.

“Kita terus koordinasi dengan PLN untuk soal ini, kita targetnya bisa 75% dulu lah,” ujar Nezar.

Ia menegaskan bahwa pemulihan jaringan adalah prioritas, dengan tim di lapangan yang bekerja 24 jam nonstop.

Tim tersebut merupakan gabungan dari balai monitoring, satuan tugas khusus, dan operator seluler (opsel).

“Kalau pemulihan jaringan kita terus, itu tim kita di sana bekerja 24 jam. Jadi ada tim balai monitoring bersama dengan satgas yang kita buat bersama dengan opsel, operator seluler, itu terus bekerja di sana,” jelasnya.

Koordinasi juga terus dijalin dengan berbagai pihak, termasuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), pemerintah daerah, serta posko TNI dan Polri.

Tujuannya adalah untuk memetakan dan mendeteksi area mana yang paling membutuhkan keberadaan sinyal telekomunikasi.

“Hal ini bertujuan untuk mendeteksi di mana kebutuhan sinyal itu harus terpenuhi,” kata Nezar.

Separuh Jaringan Masih Belum Pulih

Hingga saat ini, dari ribuan BTS yang terdampak, yang telah aktif kembali berkisar di angka 3.000 unit atau sekitar 52%.

“Jadi kalau yang aktif sekitar 52%, ya separuhnya gitu lho,” ujar Nezar.

Kondisi ini menggambarkan bahwa pemulihan total masih membutuhkan waktu dan upaya ekstra, terutama dalam menyelesaikan masalah fundamental yaitu pasokan listrik yang stabil.

Ketergantungan pada genset memang menjadi solusi sementara, namun hal ini bukan tanpa risiko dan keterbatasan.

Operasional genset memerlukan logistik BBM yang kontinu dan perawatan rutin.

Fluktuasi angka BTS aktif dari 54% ke 62% lalu kembali ke sekitar 52% menunjukkan betapa rapuhnya infrastruktur komunikasi ketika penopang utamanya, yaitu listrik, belum pulih.

Situasi ini juga memperpanjang masa pemulihan bagi masyarakat yang sangat bergantung pada konektivitas untuk berkomunikasi dengan keluarga dan mengakses informasi bantuan.

Upaya pemulihan jaringan telekomunikasi pascabencana di Sumatera memang telah menunjukkan progres, seperti yang pernah dilaporkan dengan pulihnya 707 BTS beberapa waktu lalu.

Namun, tantangan di Aceh mengingatkan semua pihak bahwa pemulihan infrastruktur digital sangat bergantung pada pemulihan infrastruktur dasar lainnya, khususnya kelistrikan.

Dalam kondisi darurat, solusi alternatif seperti layanan satelit juga kerap dihadirkan.

Sayangnya, pemanfaatan bantuan teknologi seperti ini terkadang tidak berjalan mulus, sebagaimana pernah terjadi pada kasus Internet Starlink gratis di Aceh yang justru disewakan.

Insiden semacam ini menambah kompleksitas upaya menyediakan akses komunikasi yang terjangkau dan merata bagi korban bencana.

Ke depan, selain fokus pada restorasi, penting untuk mempertimbangkan ketahanan infrastruktur telekomunikasi dalam menghadapi bencana.

Pengembangan jaringan yang lebih tangguh, mungkin dengan integrasi sumber energi terbarukan untuk BTS di daerah rawan, bisa menjadi pelajaran berharga.

Langkah seperti perluasan dan peningkatan layanan digital yang berkelanjutan di daerah seperti Aceh juga perlu terus didorong untuk membangun ketahanan komunitas.

Pernyataan Nezar Patria menutup dengan harapan agar pasokan listrik segera normal.

“Tapi kendalanya itu tadi, karena suplai listrik itu belum normal gitu ya. Dan kita berharap bisa segera normal kembali,” ucapnya.

Normalisasi listrik menjadi kunci penentu bagi hidup-matinya jaringan telekomunikasi, yang pada akhirnya juga menentukan kecepatan dan efektivitas seluruh proses pemulihan serta penyaluran bantuan kemanusiaan di Aceh.

BERITA TERKAIT

BERITA PILIHAN

BERITA TERBARU