Selular.id – Australia resmi menjadi negara pertama di dunia yang memberlakukan larangan penggunaan media sosial secara nasional bagi warga berusia di bawah 16 tahun.
Kebijakan yang mulai berlaku pada 10 Desember 2025 ini memaksa platform besar seperti Instagram, TikTok, dan YouTube untuk memblokir lebih dari satu juta akun pengguna muda.
Langkah tegas ini menutup tahun penuh spekulasi mengenai kemampuan sebuah negara membatasi akses teknologi yang telah mendarah daging dalam kehidupan modern.
Pemerintah Australia menyatakan kebijakan ini diambil akibat frustrasi terhadap minimnya upaya mitigasi bahaya oleh perusahaan teknologi.
Kekecewaan itu memuncak setelah kebocoran dokumen internal Meta pada 2021, yang mengungkapkan produknya berkontribusi pada masalah citra tubuh dan pikiran bunuh diri di kalangan remaja—tuduhan yang sebelumnya selalu dibantah oleh perusahaan.
Kini, dunia memiliki eksperimen langsung yang akan diamati ketat oleh pemerintah dari Eropa hingga Asia, yang menilai industri teknologi terlalu lamban mengatasi risiko terhadap anak.
Profesor Tama Leaver, pakar studi internet dari Curtin University, menyebut kebijakan ini sebagai sinyal kuat bahwa pemerintah global mulai siap menantang dominasi Big Tech.
Menurutnya, “larangan media sosial di Australia adalah canary in the coal mine”—pertanda awal dari gelombang regulasi internasional yang lebih besar.
Era di mana platform teknologi beroperasi dengan kebebasan luas tanpa intervensi signifikan dari regulator tampaknya mulai memasuki babak baru.
Respons Global dan Teknologi Verifikasi Usia
Pemerintah-pemerintah lain sudah bersiap mengikuti jejak Australia.
Denmark dan Malaysia menyatakan tengah mengkaji langkah serupa.
Di Indonesia, pemerintah telah mengeluarkan PP Tunas yang mengatur pembatasan serupa, meski implementasinya masih dalam tahap penggodokan.
Di Amerika Serikat, sejumlah negara bagian yang sebelumnya melonggarkan fitur keamanan digital kini mempertimbangkan untuk kembali memperketatnya.
Inggris, yang sejak Juli mewajibkan situs pornografi memblokir pengguna di bawah 18 tahun, juga mengaku memantau perkembangan di Australia dengan cermat.
Mulai tengah malam tanggal 10 Desember, sepuluh platform populer diwajibkan memblokir pengguna di bawah umur.
Hampir semua platform, kecuali X milik Elon Musk, setuju mematuhi aturan tersebut.
Mereka akan menerapkan teknologi age inference—perkiraan usia berdasarkan pola aktivitas online—atau age estimation menggunakan swafoto.
Verifikasi dokumen identitas dan data rekening bank menjadi opsi tambahan untuk memastikan kepatuhan.
Elon Musk menentang keras kebijakan ini dan menyebutnya sebagai “cara terselubung mengontrol akses internet bagi seluruh warga Australia”.
Gugatan hukum di Pengadilan Tinggi Australia sedang berlangsung, dipimpin oleh seorang anggota parlemen libertarian.
Perlawanan dari X ini mencerminkan ketegangan klasik antara kebebasan berekspresi di ruang digital dan tanggung jawab perlindungan konsumen, terutama kelompok rentan seperti anak-anak.
Ketegasan regulator di negara lain, seperti yang terjadi di India dan Brasil terhadap X, menunjukkan bahwa tekanan terhadap platform untuk patuh pada hukum lokal semakin mengglobal.
Baca Juga:
Dampak Bisnis dan Masa Depan Ruang Digital
Di balik kontroversinya, bisnis media sosial menghadapi kenyataan baru: pertumbuhan pengguna melambat dan waktu penggunaan menurun.
Perusahaan-perusahaan ini mengakui bahwa pendapatan iklan dari pengguna di bawah 16 tahun tidak signifikan secara finansial, namun aliran pengguna baru (pipeline) menjadi terganggu.
Sebelum aturan berlaku, data menunjukkan 86 persen anak Australia usia 8 hingga 15 tahun aktif menggunakan media sosial, yang mencerminkan betapa dalamnya penetrasi platform ini di kehidupan sehari-hari generasi muda, sebuah tren yang juga terlihat dalam kebiasaan pengguna media sosial di berbagai generasi.
Terry Flew, salah satu direktur Pusat AI, Kepercayaan, dan Tata Kelola Universitas Sydney, menilai era media sosial sebagai sarana ekspresi tanpa batas sudah memasuki babak penutup.
Selama ini platform merespons kritik dengan menaikkan batas usia minimum ke 13 tahun dan menambah fitur privasi remaja.
Namun menurut Flew, “jika struktur perlindungan itu sudah ada sejak masa keemasan media sosial, perdebatan hari ini mungkin tidak terjadi”.
Pernyataannya menyoroti sifat reaktif, bukan proaktif, dari industri teknologi dalam menangani dampak sosial produknya.
Pemerintah Australia menugaskan eSafety Commissioner untuk mengawasi penerapan aturan ini.
Mereka telah bekerja sama dengan Universitas Stanford serta 11 akademisi untuk mempelajari dampak kebijakan secara mendalam dalam dua tahun ke depan.
Dunia internasional akan menunggu hasil studi tersebut sebagai referensi berharga untuk menata ulang hubungan antara anak, teknologi, dan integritas ruang digital.
Eksperimen Australia ini bukan sekadar soal blokir akun, melainkan uji coba besar pertama dalam mendefinisikan ulang tanggung jawab platform teknologi di hadapan kedaulatan negara dan kepentingan publik.



