Senin, 29 Desember 2025
Selular.ID -

ATSI Peringatkan Lelang 2,6 GHz Bisa Picu Beban Regulator Opsel Naik 28%

BACA JUGA

Selular.id – Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) menyoroti risiko membengkaknya beban finansial operator seluler jika pemerintah tetap menggunakan skema lelang harga dalam alokasi frekuensi 2,6 GHz.

Dalam kondisi industri yang sedang sulit, skema tradisional ini dinilai berpotensi menggerus kesehatan sektor telekomunikasi.

Direktur Eksekutif ATSI, Marwan O. Baasir, mengungkapkan bahwa beban regulatory charge atau biaya regulator yang ditanggung operator seluler di Indonesia sudah tergolong sangat tinggi.

Saat ini, rasio Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi untuk industri telekomunikasi Indonesia tercatat di atas 12,2%. Angka ini jauh melampaui rata-rata negara ASEAN yang berada di bawah 5%, rasio global sekitar 7%, serta kawasan Asia Pasifik (APAC) sebesar 8,7%.

“Beban regulatory charge yang ditanggung industri operator seluler di Indonesia sudah terlalu tinggi dan berpotensi menggerus kesehatan industri apabila skema lelang harga tetap dipertahankan,” kata Marwan belum lama ini.

Berdasarkan analisis internal ATSI, situasi bisa menjadi lebih parah.

Estimasi regulatory charge secara industri berpotensi melonjak hingga lebih dari 28% apabila seleksi untuk pita frekuensi 700 MHz, 2,6 GHz, 3,5 GHz, dan 26 GHz masih menggunakan skema seleksi serta formula BHP yang sama seperti saat ini.

“Itu bisa lebih di atas 12,2%, kalau skemanya masih seleksi dan BHP masih seperti sekarang. Masih lelang dan bukan beauty contest ya maka akan seperti itu,” tegas Marwan.

Beauty Contest sebagai Alternatif

ATSI mengusulkan perubahan pendekatan dalam seleksi spektrum. Marwan menyebutkan bahwa sejumlah negara, bahkan Amerika Serikat, telah mulai beralih ke pendekatan beauty contest.

Skema ini memungkinkan pemerintah menilai kesiapan serta komitmen operator dalam membangun jaringan, tidak semata-mata berdasarkan kemampuan membayar tertinggi seperti dalam lelang konvensional.

“Beauty contest itu tiga kandidat yang ikut tiga kandidat yang menang. Namun harganya nanti ditentukan,” jelas Marwan.

Pendekatan ini dianggap lebih sehat karena menekankan pada kualitas rencana penggelaran jaringan dan komitmen investasi jangka panjang, yang pada akhirnya dapat mendorong pemerataan dan kualitas layanan digital bagi masyarakat.

Rencana pemerintah membuka lelang frekuensi 2,6 GHz dan 700 MHz untuk mendukung penggelaran jaringan 5G memang telah lama dinantikan.

Pita 700 MHz dinilai strategis karena memiliki jangkauan luas yang ideal untuk wilayah pedesaan dan pinggiran kota.

Sementara itu, pita 2,6 GHz menawarkan keseimbangan antara cakupan dan kapasitas data tinggi yang dibutuhkan untuk layanan 5G yang mumpuni.

Kebutuhan Spektrum dan Realitas 5G

Marwan memberikan konteks mengenai kondisi spektrum saat ini.

Total spektrum yang digunakan industri seluler di Indonesia baru mencapai sekitar 1.012 MHz, sehingga ruang untuk ekspansi jaringan 5G masih terbuka lebar.

Namun, rencana pembukaan pita 700 MHz (low band) serta pita 2,6 GHz dan 3,5 GHz (mid band) perlu dikaji secara matang, terutama terkait kebutuhan bandwidth riil untuk layanan 5G.

Minat operator terhadap pita frekuensi yang berbeda juga bervariasi.

“Ada satu yang memiliki low band 700 Mhz, tapi yang dua belum tentu itu, mungkin mereka lebih 2,6 atau 3,5, karena real 5G spektrum,” kata Marwan, merujuk pada komposisi operator seluler saat ini yang terdiri dari Telkomsel, XLSmart, dan Indosat.

Perbedaan kepemilikan spektrum ini turut memengaruhi strategi mereka dalam mengikuti lelang frekuensi mendatang, seperti yang terlihat dari fokus XLSmart di lelang 700 MHz dan 2,6 GHz setelah gagal di lelang 1,4 GHz.

Meski demikian, ATSI menegaskan bahwa tambahan bandwidth tetap diperlukan, baik di low band maupun mid band, guna menjaga keseimbangan antara cakupan luas dan kapasitas jaringan yang memadai.

Pembukaan spektrum baru ini diharapkan dapat mengakselerasi adopsi 5G di Tanah Air.

Berdasarkan studi GSMA, dalam periode 2024–2030, teknologi 5G diperkirakan memberikan kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia sebesar Rp650 triliun atau sekitar US$41 miliar.

Pada 2030, kontribusi 5G diproyeksikan mencapai 0,6% terhadap PDB atau sekitar Rp172 triliun. Angka yang cukup signifikan ini menunjukkan potensi besar yang bisa digali.

Namun, Marwan memberikan catatan realistis. Kontribusi makro tersebut dinilai belum sepenuhnya tercermin pada pendapatan operator seluler.

- Advertisement 1-

BERITA TERKAIT

BERITA PILIHAN

BERITA TERBARU