Selular.id – Pemerintah Amerika Serikat mengajukan aturan baru yang mewajibkan wisatawan dari puluhan negara peserta program bebas visa untuk menyerahkan data riwayat media sosial mereka selama lima tahun terakhir.
Proposal ini merupakan bagian dari upaya memperketat keamanan perbatasan dan mengidentifikasi ancaman potensial sebelum masuk ke AS.
Rencana tersebut terungkap dari dokumen proposal yang diterbitkan dalam jurnal resmi pemerintah Federal Register.
Pengajuan aturan ini dilakukan oleh Departemen Keamanan Dalam Negeri AS (DHS) bersama Bea Cukai dan Perlindungan Perbatasan AS (CBP).
Aturan baru ini akan berdampak pada warga negara dari sekitar 40 negara yang selama ini dapat mengunjungi AS hingga 90 hari tanpa perlu mengajukan visa, dengan syarat mereka terlebih dahulu mendapatkan persetujuan melalui sistem Electronic System for Travel Authorization (ESTA.
“Ini bukan aturan final, ini hanya upaya pertama dalam memulai diskusi agar memiliki opsi kebijakan baru dalam menjaga keamanan rakyat Amerika,” jelas juru bicara CBP, seperti dikutip dari proposal tersebut.
Mereka menegaskan bahwa proposal ini masih akan melalui proses tinjauan dan memerlukan masukan dari publik selama sekitar 60 hari sebelum keputusan akhir diambil.
Rincian Persyaratan dan Data Tambahan yang Diminta
Menurut proposal yang diajukan, pemohon ESTA di masa depan tidak hanya perlu memberikan informasi paspor dan data pribadi dasar.
Mereka juga akan diminta untuk mengungkapkan nama pengguna atau handle yang digunakan di platform media sosial dalam lima tahun terakhir.
Meskipun demikian, rincian teknis seperti platform media sosial mana saja yang dicakup—apakah semua jenis atau hanya tertentu—belum dijelaskan secara mendetail dalam dokumen awal ini.
Selain data media sosial, permintaan informasi yang lebih luas juga diusulkan.
Pemohon ESTA kemungkinan perlu memberikan nomor telepon serta alamat email yang mereka gunakan dalam kurun waktu 5 hingga 10 tahun terakhir.
Bahkan, data mengenai anggota keluarga juga diminta sebagai bagian dari proses screening yang lebih komprehensif.
Saat ini, proses ESTA yang dikenai biaya 40 dolar AS (sekitar Rp 666.435) belum memerlukan kedalaman informasi seperti itu.
Langkah ini mengingatkan pada pentingnya regulasi dan persyaratan ketat bagi operator teknologi asing yang ingin beroperasi di suatu negara, seperti yang pernah dibahas dalam kasus sejumlah syarat yang harus Starlink penuhi jika masuk Indonesia.
Keduanya sama-sama merefleksikan kehati-hatian pemerintah dalam mengelola akses dan data dari entitas asing.
Baca Juga:
Latar Belakang Kebijakan dan Respons dari Berbagai Pihak
Usulan persyaratan baru ini berakar dari perintah eksekutif Presiden AS Donald Trump yang dikeluarkan pada Januari 2025, berjudul “Protecting the United States From Foreign Terrorists and Other National Security and Public Safety Threats” atau Melindungi AS dari Teroris Asing dan Ancaman Keamanan serta Keselamatan Publik Lainnya.
Perintah ini menjadi dasar hukum bagi berbagai lembaga untuk memperkuat protokol screening imigrasi dan perbatasan.
Presiden Trump sendiri menanggapi proposal ini dengan keyakinan bahwa hal itu tidak akan mengurangi minat wisatawan untuk berkunjung.
“Kami hanya ingin orang-orang datang kemari dengan aman. Kami menginginkan keamanan dan keselamatan. Kami ingin memastikan bahwa kami tidak membiarkan orang yang keliru masuk ke negara kami,” ujarnya.
Pemerintah AS justru optimis akan terjadi peningkatan kunjungan wisatawan, terutama menyambut gelaran Piala Dunia 2026 yang akan diadakan bersama Kanada dan Meksiko, serta Olimpiade 2028 di Los Angeles.
Namun, di luar optimisme pemerintah, sejumlah analis dan pengamat kebijakan digital menyuarakan kekhawatiran.
Mereka menilai syarat penyerahan data media sosial yang ekstensif berpotensi menjadi penghalang bagi calon pengunjung yang peduli dengan privasi.
Lebih jauh, hal ini dinilai dapat merugikan hak-hak digital individu dan menciptakan preseden untuk pengumpulan data pribadi yang masif oleh pemerintah.
Isu keamanan data dan infrastruktur pendukungnya selalu krusial, sebagaimana terlihat ketika pasokan listrik jadi kunci pemulihan jaringan internet di Aceh, yang menunjukkan keterkaitan erat antara kebijakan, infrastruktur, dan dampaknya pada masyarakat.
Perkembangan kebijakan semacam ini juga terjadi di ranah bisnis teknologi global, di mana perusahaan sering harus menyesuaikan strategi operasionalnya.
Hal serupa terlihat ketika Xiaomi tutup ratusan toko, fokus ke profitabilitas dan kendaraan listrik, menunjukkan bagaimana tekanan regulasi dan pasar dapat memengaruhi keputusan strategis sebuah perusahaan.
Proposal dari DHS dan CBP ini kini memasuki fase konsultasi publik. Selama 60 hari ke depan, berbagai pihak termasuk organisasi hak digital, asosiasi pariwisata, dan perwakilan negara-negara peserta program bebas visa dapat memberikan tanggapan dan masukan.
Hasil dari proses ini akan menentukan apakah aturan baru tentang data media sosial untuk ESTA benar-benar akan diimplementasikan, atau mengalami modifikasi berdasarkan masukan yang diterima.
Jika akhirnya disetujui, Amerika Serikat akan menjadi salah satu negara dengan persyaratan screening digital paling ketat untuk wisatawan bebas visa.
Perubahan kebijakan ini akan menjadi titik perhatian bagi negara lain yang mungkin mempertimbangkan langkah serupa, menandai babak baru dalam hubungan antara perjalanan internasional, keamanan nasional, dan privasi digital di era modern.




