Selular.ID – Asia Tenggara berada pada titik perubahan yang penting karena diproyeksikan akan menyumbang sebanyak 25% pertumbuhan permintaan energi global pada tahun 2035, dan menempati posisi kedua, setelah India, sebagai salah satu penggerak konsumsi energi terbesar di dunia, menurut Badan Energi Internasional (International Energy Agency – IEA).
Permintaan terhadap listrik diperkirakan akan melonjak sebesar 4% per tahun, dengan meningkatnya penggunaan pendingin udara di tengah gelombang panas, yang semakin sering, menjadi pendorong utama peningkatan konsumsi listrik di kawasan ini.
Untuk memenuhi pertumbuhan ini secara berkelanjutan, para menteri energi di Asia Tenggara mengesahkan ASEAN Plan of Action for Energy Cooperation (APAEC) 2026-2030, dengan menetapkan target yang cukup ambisius:
- 30% pangsa energi terbarukan dalam total pasokan energi primer
- 45% energi terbarukan dalam kapasitas pembangkit listrik
- 40% pengurangan intensitas energi (dibandingkan tahun 2005)
Namun, untuk target ambisius ini akan menghadapi tantangan besar. ASEAN Center for Energy mencatat ada lima megatrend utama yang akan membentuk masa depan energi di kawasan ini:
- Perubahan iklim: Kenaikan batas permukaan laut, suhu ekstrem, dan badai yang semakin sering, membuat pembangkit listrik serta fasilitas di kawasan pesisir terancam, sehingga mempercepat kebutuhan akan sistem rendah karbon, yang ramah iklim.
- Kemajuan teknologi dan digitalisasi: Smart grid, manajemen energi berbasis AI, serta analitik canggih tengah mengubah metode operasional sektor energi. Pada saat bersamaan, pertumbuhan ekonomi digital juga mendorong lonjakan kebutuhan listrik dan menghadirkan tantangan baru dalam pengelolaan beban daya.
- Ketidakpastian geopolitik: Ketidakstabilan pasar dan gangguan rantai pasok menimbulkan ketidakpastian energi, terutama bagi negara-negara yang bergantung pada impor. Kondisi ini menegaskan pentingnya integrasi kawasan dan diversifikasi sumber energi.
- Perubahan demografi: Urbanisasi yang pesat, pertumbuhan populasi, dan meningkatnya kelas menengah mengubah pola kebutuhan akan energi, khususnya di pusat-pusat perkotaan. Penggunaan pendingin udara melonjak tajam seiring dengan semakin seringnya gelombang panas.
- Krisis kesehatan: Pandemi menyingkap kerentanan dalam sistem energi kita, menegaskan akan perlunya solusi energi yang tangguh, kesiapan menghadapi krisis, serta strategi pemulihan hijau untuk memastikan akses listrik tetap terjaga bagi layanan esensial seperti kesehatan dan konektivitas digital.
Gabungan berbagai faktor, mulai dari infrastruktur yang mulai usang, lonjakan permintaan energi, risiko iklim, hingga tekanan integrasi energi terbarukan pun menimbulkan beban luar biasa terhadap keandalan jaringan listrik dan pertumbuhan ekonomi, tepat pada saat krisis energi mencapai titik paling genting.
Baca juga:
- Raksasa Teknologi Cina Sebut Dampak Penting Bubble AI di Indonesia
- Wifi Dipakai Orang Lain Tanpa Izin, Ini Cara Cek dan Blokirnya
Mengapa AI Menjadi Faktor Kritis bagi Sektor Energi dan Utilitas
Para eksekutif energi dan utilitas di seluruh dunia menyadari bahwa kecerdasan buatan bukan lagi pilihan, melainkan telah menjadi infrastruktur fundamental guna mengelola kompleksitas sistem energi modern sekaligus memenuhi target keberlanjutan yang ambisius.
Menurut survei terbaru IBM Institute for Business Value (IBV) terhadap 100 eksekutif utilitas di Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Singapura, dan Australia:
- 94% eksekutif memperkirakan AI akan berkontribusi signifikan terhadap pertumbuhan pendapatan dalam tiga tahun ke depan;
- 88% eksekutif menyatakan AI akan memberikan keunggulan kompetitif yang terukur;
- 74% eksekutif meyakini AI akan mendorong inovasi yang mengganggu model bisnis tradisional
- 70% eksekutif sepakat bahwa AI akan memungkinkan organisasi mereka berekspansi ke area layanan yang sepenuhnya baru
Selain itu, studi CEO dan COO 2025 dari IBM IBV menemukan bahwa:
- 60% CEO sektor energi dan utilitas di seluruh dunia menyatakan organisasi mereka tengah aktif mengadopsi agen AI dan siap menerapkannya secara luas;
- 60% CEO sektor energi dan utilitas di seluruh dunia menyatakan mereka harus mengambil risiko lebih besar dibanding pesaing untuk mempertahankan keunggulan kompetitif;
- 61% COO sektor energi dan utilitas di seluruh dunia menyatakan potensi peningkatan produktivitas dari otomatisasi dan AI begitu besar sehingga mereka harus menerima risiko yang signifikan agar tetap kompetitif;
- 50% COO sektor energi dan utilitas di seluruh dunia memperkirakan investasi AI mereka akan secara signifikan mempercepat inovasi.
Peralihan dari sekadar aspirasi menuju implementasi nyata sudah berlangsung. Lebih dari dua dari lima perusahaan utilitas saat ini telah menggunakan AI untuk:
- Optimalisasi tenaga kerja lapangan (48%): mencakup penentuan rute, penjadwalan, dan alokasi sumber daya.
- Pemeliharaan prediktif (46%): mencegah kerusakan peralatan sebelum terjadi.
- Manajemen pemadaman (45%): respons otomatis dan pemulihan yang lebih cepat.
- Manajemen permintaan (44%): menyeimbangkan pasokan dan permintaan secara real-time.
- Integrasi energi terbarukan (44%): Mengelola output tenaga surya dan angin yang dapat terus berubah




