Selular.id – Industri kecerdasan buatan (AI) telah membuktikan diri sebagai mesin pencetak kekayaan baru yang paling produktif sepanjang tahun 2025.
Laporan terbaru dari Forbes mengungkapkan bahwa gelombang investasi dan ekspansi besar-besaran di sektor ini telah melahirkan lebih dari 50 miliarder baru.
Mereka berasal dari berbagai belahan dunia, mulai dari pendiri startup hingga pengusaha di bidang infrastruktur pusat data.
Fenomena ini tidak terlepas dari adopsi AI yang semakin masif di berbagai lini industri.
Mulai dari komputasi awan, pengolahan data besar, layanan agen AI, hingga aplikasi untuk audio dan video, semuanya menjadi ladang subur bagi pertumbuhan bisnis dan valuasi perusahaan.
Menurut data Crunchbase, sepanjang 2025, kucuran dana yang mengalir ke sektor AI telah melampaui angka 200 miliar dolar AS atau setara dengan sekitar Rp 3.354 triliun.
Angka fantastis ini mewakili hampir 50 persen dari total pendanaan teknologi secara global.
Persaingan di dunia AI sendiri terus memanas sejak kemunculan ChatGPT yang memicu ledakan popularitas.
Dinamika ini diperkuat dengan kehadiran model AI open-source seperti DeepSeek dari China yang menawarkan efisiensi komputasi lebih tinggi, serta pendanaan jumbo untuk perusahaan seperti Anthropic yang mengerek valuasinya hingga 183 miliar dolar AS.
Di sisi infrastruktur, belanja juga melonjak drastis, ditandai dengan proyek pusat data raksasa “Stargate” senilai 500 miliar dolar AS dan investasi puluhan miliar dolar dari raksasa teknologi seperti Meta, Alphabet, dan Microsoft.
Baca Juga:
Forbes menilai, fenomena kelahiran puluhan miliarder baru ini menegaskan bahwa AI telah berevolusi dari sekadar tren teknologi menjadi fondasi ekonomi baru yang membentuk ulang lanskap industri global.
Laju investasi dan kompetisi yang intens diperkirakan masih akan berlanjut di tahun-tahun mendatang.
Perang untuk merebut talenta terbaik dan serangkaian akuisisi strategis juga disebut-sebut turut melahirkan kekayaan baru, termasuk dari perusahaan yang bergerak di bidang pelabelan data seperti Scale AI dan Surge AI.
Sementara itu, startup yang fokus pada pengembangan AI untuk audio, video, dan coding, seperti ElevenLabs dan Cursor, juga ikut menikmati lonjakan valuasi.
Peningkatan penggunaan alat bantu AI dalam dunia kerja menjadi pendorong utama pertumbuhan mereka.
Gelombang kekayaan baru ini seolah menggeser fokus dari nama-nama lama seperti Jensen Huang dari Nvidia atau Sam Altman dari OpenAI, dan justru menampilkan wajah-wajah segar yang sebelumnya kurang dikenal publik.
Edwin Chen, Miliarder AI Terkaya Baru 2025
Meski Forbes tidak merinci secara lengkap ke-50 nama miliarder baru tersebut, laporan tersebut menyoroti beberapa sosok yang paling mencolok.
Yang paling bersinar adalah Edwin Chen, pendiri sekaligus CEO Surge AI.
Chen dinobatkan sebagai miliarder AI terkaya baru di tahun 2025 dengan nilai aset diperkirakan mencapai 18 miliar dolar AS atau sekitar Rp 301,9 triliun.
Pencapaian Chen terbilang fenomenal. Dalam waktu kurang dari lima tahun, ia berhasil membangun Surge AI tanpa bergantung pada pendanaan venture capital.
Perusahaan yang didirikannya pada 2020 itu bahkan berhasil mencetak pendapatan sebesar 1,2 miliar dolar AS pada tahun 2024.
Surge AI menawarkan platform yang mendukung pengembangan pembelajaran mesin (machine learning) dan model bahasa besar (large language model/LLM), dengan klien-klien besar seperti Google, Meta, Microsoft, Anthropic, dan Mistral. Kini, valuasi perusahaan tersebut diperkirakan telah mencapai 24 miliar dolar AS.
Kisah sukses Chen menambah deretan miliarder muda dengan kekayaan fantastis gegara AI.
Ia membuktikan bahwa inovasi di bidang data dan platform pelatihan AI bisa menjadi bisnis yang sangat menguntungkan, bahkan tanpa modal ventura yang besar di awal.
Deretan Nama Lain yang Ikut Menikmati Boom AI
Selain Edwin Chen, Forbes juga menyebutkan sejumlah nama lain yang kekayaannya melambung berkat industri AI sepanjang 2025.
Di antaranya adalah Bret Taylor dari Sierra, Lucy Guo dari Scale AI, dan Piotr Dabkowski dari ElevenLabs.
Masing-masing dari mereka tercatat memiliki kekayaan bersih sekitar 2,5 miliar dolar AS, 1,4 miliar dolar AS, dan 1,1 miliar dolar AS.
Lucy Guo, misalnya, adalah salah satu pendiri Scale AI, perusahaan yang menyediakan data berlabel berkualitas tinggi untuk melatih model AI.
Kebutuhan akan data yang akurat dan terstruktur semakin krusial seiring dengan kompleksitas model AI, menjadikan bisnis seperti Scale AI sangat dibutuhkan.
Sementara Piotr Dabkowski dan ElevenLabs-nya berhasil menangkap peluang di bidang generasi suara dan audio berbasis AI, yang aplikasinya merambah ke konten kreatif, hiburan, hingga layanan pelanggan.
Kemunculan mereka menunjukkan bahwa ekosistem kekayaan di dunia AI tidak lagi dimonopoli oleh pembuat chip atau pengembang model dasar, tetapi telah merata ke berbagai lapisan rantai pasok, mulai dari infrastruktur data, pelabelan, hingga aplikasi khusus. Ini mencerminkan kedewasaan dan diversifikasi industri yang semakin matang.
Ledakan kekayaan di sektor AI ini juga menarik perhatian sekaligus kekhawatiran.
Sejumlah pemimpin industri, seperti yang diungkapkan oleh Sundar Pichai, telah memperingatkan risiko gelembung investasi yang mungkin terjadi jika antusiasme tidak diimbangi dengan realitas bisnis yang berkelanjutan.
Namun, untuk saat ini, data dan fakta di lapangan menunjukkan bahwa gelombang investasi tersebut masih terus menghasilkan nilai dan inovasi yang nyata.
Lahirnya lebih dari 50 miliarder baru dalam satu tahun adalah bukti nyata transformasi ekonomi yang digerakkan oleh AI.
Mereka bukan hanya simbol kesuksesan individu, tetapi juga penanda betapa dalamnya penetrasi teknologi ini ke dalam inti industri modern.
Seperti Joseph Tsai yang memimpin transformasi di Alibaba, para miliarder baru AI ini diprediksi akan memainkan peran kunci dalam mengarahkan masa depan perusahaan dan sektor mereka masing-masing.
Lanskap kekayaan global tampaknya sedang ditulis ulang, dengan kode-kode dan algoritma sebagai pena utamanya.




