Selular.ID – Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) akan memberlakukan kebijakan registrasi kartu SIM menggunakan teknologi face recognition secara bertahap dengan masa transisi selama satu tahun.
Tiga operator selular besar seperti Telkomsel, Indosat, dan XL Axiata perlu bersiap mengimplementasikan kebijakan baru yang bertujuan memperkuat keamanan dan mencegah penyalahgunaan nomor seluler ini.
Pendaftaran kartu SIM melalui face recognition merupakan proses verifikasi identitas pengguna baru dengan teknologi pengenalan wajah yang terintegrasi dengan data kependudukan nasional.
Kebijakan ini dikeluarkan Komdigi untuk mengurangi praktik titip identitas atau penggunaan data palsu saat registrasi, sekaligus menekan penyalahgunaan nomor seluler untuk praktik penipuan daring.
Komdigi menegaskan bahwa penggunaan face recognition tidak akan mempersulit masyarakat dalam membeli kartu SIM.
Dengan diterapkannya teknologi face recognition, hal ini menandai babak baru perjalanan industri selular yang terus berkembang pesat seiring dengan kemajuan teknologi.
Dimulai dari NMT (Nordic Mobile Telephone) yang merupakan cikal bakal layanan selular di Indonesia (1984), masuk ke era GSM (1994), kemudian 3G (2007), lanjut 4G (2014), hingga kini 5G (2021) yang menandai berkembangnya era digital dan kecerdasan buatan (AI) saat ini.
Jika kita telisik lebih jauh, teknologi pengenalan wajah atau Facial Recognition Technology (FRT), telah bertransformasi pesat dari sekadar ide spekulatif menjadi fitur yang lazim dalam kehidupan modern, memainkan peran penting dalam keamanan, perdagangan, dan perangkat pribadi.
Dari fondasi teoretis awalnya hingga sistem canggih berbasis AI yang kita lihat saat ini, sejarah pengenalan wajah merupakan perjalanan yang menarik melalui kemajuan teknologi dan sains.
Baca Juga: Registrasi Kartu SIM Pakai Face Recognition, Masa Transisi 1 Tahun
Dinukil dari laman Facit.AI, berikut adalah ikhtisar sekaliguas tonggak-tonggak penting yang telah membentuk perkembangan FRT, dengan pemanfaatan yang terus meluas seiring dengan kebutuhan masyarakat dan industri.
-
Konsep dan Fondasi Awal (1960-an–1970-an)
Konsep otomatisasi pengenalan wajah telah dieksplorasi sejak 1960-an. Selama masa ini, para ilmuwan dan peneliti mulai menyelidiki cara membuat algoritma yang dapat mengidentifikasi wajah manusia dari gambar.
Salah satu pelopor awal, Woody Bledsoe secara luas dianggap sebagai pendiri teknologi ini.
Bersama dua partnernya, Helen Chan Wolf dan Charles Bisson, Woody mengembangkan sistem semi-otomatis yang mengharuskan manusia untuk secara manual menemukan fitur wajah seperti mata, telinga, dan hidung.
Koordinat ini kemudian dimasukkan ke dalam komputer yang akan mencoba mencocokkannya dengan gambar yang tersimpan.
-
Eigenfaces dan Kebangkitan Algoritma (1980-an–1990-an)
Pada 1980-an, teknologi pengenalan wajah mengalami kemajuan pesat dengan diperkenalkannya pendekatan matematika untuk pengenalan pola.
Salah satu terobosan paling berpengaruh terjadi pada 1988 ketika Sirovich dan Kirby mengembangkan metode yang dapat merepresentasikan wajah secara efisien menggunakan analisis komponen utama atau principal component analysis (PCA).
Metode ini, yang dikenal sebagai Eigenfaces, merupakan terobosan revolusioner karena kemampuannya untuk mengurangi kompleksitas citra wajah dan mengidentifikasi fitur-fitur utama yang membedakan satu wajah dengan wajah lainnya.
Pada 1991, Matthew Turk dan Alex Pentland di MIT mengembangkan karya ini dengan mendemonstrasikan bagaimana Eigenfaces dapat digunakan untuk pengenalan wajah secara real-time.
Baca Juga: Komdigi Perketat Aktivasi SIM Card dengan Face Recognition
-
Pengenalan Wajah Memasuki Arus Utama (2000-an)
Pada awal 2000-an, teknologi pengenalan wajah mulai menemukan aplikasi praktisnya, terutama dalam penegakan hukum dan keamanan.
Program Teknologi Pengenalan Wajah (FERET) Departemen Pertahanan AS, yang dimulai pada 1993, bertujuan untuk mengembangkan metode standar untuk mengevaluasi algoritma pengenalan wajah.
Program ini secara signifikan memajukan bidang ini dengan menciptakan kumpulan data besar yang tersedia untuk umum untuk pelatihan dan pengujian algoritma, yang membantu mendorong inovasi.
Pada 2001, teknologi pengenalan wajah mendapatkan perhatian internasional ketika digunakan selama Super Bowl untuk memindai wajah para penonton untuk mencari potensi penjahat.
Meskipun penerapan ini menimbulkan kontroversi terkait masalah privasi, hal ini menyoroti potensi FRT yang semakin besar dalam aplikasi keamanan skala besar.
Sekitar waktu ini, berbagai perusahaan mengembangkan sistem pengenalan wajah komersial untuk instansi pemerintah, bandara, dan kasino.
-
Revolusi AI dan Pembelajaran Mendalam (2010-an)
Tahun 2010-an menandai dimulainya era baru teknologi pengenalan wajah, berkat kemajuan dalam pembelajaran mesin dan kecerdasan buatan (AI).
Secara spesifik, perkembangan jaringan saraf konvolusional atau convolutional neural networks (CNN) mentransformasi bidang ini dengan memungkinkan komputer mempelajari cara mengidentifikasi wajah dengan cara yang lebih fleksibel dan tangguh.
Jaringan ini, yang mampu memproses data visual dalam jumlah besar, membuat pengenalan wajah jauh lebih akurat dan adaptif.
Pada 2014, DeepFace, sistem AI yang dikembangkan oleh Facebook, menetapkan tolok ukur baru dengan mencapai tingkat akurasi 97% dalam tugas pengenalan wajah – hampir setara dengan kinerja manusia.
Di waktu yang sama, Google memperkenalkan sistemnya sendiri, FaceNet, yang semakin meningkatkan akurasi dan efisiensi.
Sistem ini kini dapat mengidentifikasi wajah dengan andal dalam berbagai kondisi, termasuk pencahayaan redup dan berbagai sudut, yang merupakan peningkatan signifikan dibandingkan metode sebelumnya.
Selain itu, ketersediaan dataset besar seperti Labelled Faces in the Wild (LFW) dan kemajuan daya komputasi memungkinkan para peneliti untuk melatih model pembelajaran mendalam secara lebih efektif, yang kemudian mendorong adopsi yang meluas dalam aplikasi komersial.
-
Adopsi yang Meluas dan Kekhawatiran Etis (Akhir 2010-an–2020-an)
Seiring teknologi pengenalan wajah menjadi lebih akurat dan mudah diakses, penggunaannya meluas di berbagai sektor.
Ponsel pintar, dengan diperkenalkannya Face ID oleh Apple pada 2017, menghadirkan FRT kepada jutaan pengguna, menjadikan fitur buka kunci wajah populer. Demikian pula, pengenalan wajah menjadi alat kunci dalam keamanan publik, terutama di pusat kota besar dan bandara.
Namun, penyebaran FRT yang cepat juga memicu kekhawatiran etis, terutama seputar privasi, bias, dan pengawasan.
Studi telah menunjukkan bahwa sistem pengenalan wajah awal seringkali menunjukkan bias rasial dan gender, yang menimbulkan pertanyaan tentang keadilan dan potensi penyalahgunaan.
Misalnya, sebuah studi MIT pada 2018 menemukan bahwa sistem pengenalan wajah komersial memiliki tingkat kesalahan yang jauh lebih tinggi saat mengidentifikasi individu berkulit gelap dan wanita.
-
Tren Saat Ini dan Masa Depan Pengenalan Wajah (2020-an dan Selanjutnya)
Pada 2020-an, teknologi pengenalan wajah terus berkembang, didorong oleh kemajuan dalam AI, peningkatan daya komputasi, dan semakin banyaknya penelitian tentang pengurangan bias dan peningkatan akurasi.
Aplikasi baru bermunculan, mulai dari pemasaran yang dipersonalisasi di sektor ritel hingga peningkatan keamanan dalam layanan keuangan.
Saat ini teknologi face recognition telah digunakan untuk berbagai aplikasi, termasuk keamanan, kontrol akses, dan bahkan membuka kunci perangkat selular, khususnya smartphone kelas mid end dan high end.
Padahal satu dekade lalu, face recognition dianggap “mahal” dan hanya dipakai di tempat-tempat tertentu, seperti bandara, gedung perkantoran, atau properti pribadi yang memerlukan sistem keamanan canggih.
Dengan keunggulan yang ditawarkan, penggunaan face recognition kini semakin meluas, bahkan ke toko-toko ritel.
Tengok saja langkah yang dilakukan Spark. Pada Juli 2025, operator selular terbesar di Selandia Baru itu, telah memulai uji coba teknologi pengenalan wajah di toko ritelnya.
Tujuannya, meningkatkan keamanan bagi karyawan dan pelanggan, dengan rencana untuk menggunakan pengawasan biometrik di gerai-gerai di masa mendatang.
Meski pemanfaatnya semakin meluas, pada saat yang sama, masa depan pengenalan wajah akan sangat bergantung pada penanganan tantangan etika.
Isu-isu seperti pengawasan massal, persetujuan, dan perlindungan data tetap menjadi topik utama diskusi. Para peneliti dan pembuat kebijakan bekerja sama untuk mengembangkan solusi yang lebih transparan, adil, dan menghormati privasi.
Terlepas dari kekhawatiran tentang privasi dan keadilan, teknologi pengenalan wajah siap untuk tetap menjadi komponen kunci lanskap digital, membentuk segalanya, mulai dari protokol keamanan hingga interaksi perangkat pribadi.
Baca Juga: Fitur Cek NIK Untuk Mengetahui NIK Sudah Dipakai Berapa Kali Registrasi SIM Card, Simak Caranya




