Upaya merekrut analis intelijen bisnis, terjadi ketika TSMC menghadapi tantangan yang meningkat di tengah hubungan AS dan China yang belum menunjukkan perbaikan, meski Joe Biden telah menjadi penguasa Gedung Putih.
Kedua negara adidaya itu, berlomba untuk mengamankan akses ke semikonduktor yang penting untuk berbagai produksi perangkat elektronik, seperti smartphone, komputer dan notebook, hingga otomotif.
Tak dapat dipungkiri, perang dagang antara China – AS membuat posisi TSMC menjadi sulit. Produksi chip menjadi terbatas, karena vendor China yang tak lagi leluasa beroperasi Meski demikian, ketegangan tersebut justru mendorong kinerja TSMC semakin terkerek.
Vendor yang berbasis di Hsinchu, Taipe itu, melaporkan pendapatan sebesar $15,7 miliar untuk tiga bulan hingga Desember 2021, dengan laba sebesar $6 miliar, mengalahkan sebagian besar ekspektasi analis. Dengan perkiraan pertumbuhan lebih lanjut pada kuartal mendatang, harga saham perusahaan meroket ke rekor tertinggi sebesar 683 dolar Taiwan ($24,57 AS).
Sebagai produsen chip kontrak terbesar di dunia, TSMC telah menghadapi gelombang kekurangan chip global, dengan pelanggan mengantre untuk mendapatkan sebagian dari kapasitas pengecoran chip sesuai permintaan, atau pesanan yang bersifat khusus.
Demi mendorong momentum pertumbuhan, TSMC dalam panggilan pendapatan dengan investor, menguraikan rencana investasi modal antara $40-$44bn (perusahaan menghabiskan $30bn pada 2021), di Taiwan dan sekitarnya, untuk memastikan dominasi pasarnya terus berlanjut.
Baca Juga: Qualcomm dan AMD Kesal Apple Jadi Anak Emas TSMC
Dengan belanja modal yang sangat besar dan pangsa pasar yang terbilang dominan, tak ada yang menyanggah bahwa TSMC adalah perusahaan yang memiliki posisi strategis di industri chip saat ini.
Meski demikian, TSMC perlu mewaspadai faktor bisnis dan geopolitik jika ingin menghindari masalah dalam mempertahankan dominasinya di pasar chip global.
Page: 1 2
This website uses cookies.
