Categories: Feature News

5 Tantangan Berat yang Dihadapi Honor, Salah Satunya Meningkatkan Ekuitas Merek

Share

Berikut adalah lima tantangan berat yang dapat menjadi batu sandungan Honor dalam upaya menaklukkan pasar Indonesia.

  1. Pasar Telah Disesaki Oleh Banyak Pemain

Pada 2017, permintaan ponsel di Indonesia mencapai puncaknya. Sebanyak 60 juta unit ponsel terjual di tahun itu.

Namun seiring dengan pergeseran dari feature phone ke smartphone, penjualan terus merosot. Harga smartphone yang terbilang cukup mahal bagi kebanyakan  masyarakat Indonesia, membuat penjualan tidak sebaik dekade lalu.

Pandemi covid-19 yang meruyak pada 2020 membuat pasar semakin tidak menentu. Penjualan pun anjlok menjadi hanya berkisar 35 – 40 juta unit/tahun. Melemahnya daya beli masyarakat, menjadi penyebab utama menurunnya penjualan.

Meski permintaan menyusut, hingga kini Indonesia masih menyandang predikat sebagai pasar ponsel terbesar keempat di dunia, setelah China, India, dan AS.

Di tengah permintaan yang tidak sebaik dekade lalu, persaingan antar vendor ponsel justru semakin ketat. Pergantian teknologi dari 3G ke 4G, dan kemudian 5G, menjadi kesempatan bagi setiap vendor mengambil alih posisi dari pesaing.

Kompetisi yang keras menjadikan medan persaingan layaknya zero sum game. Keuntungan bagi satu pemain bisa jadi merupakan kerugian bagi pemain lain.

Mereka yang tidak kuat bertahan, terpaksa harus mengubur impian. Pilih tutup usaha, ketimbang terus menerus menelan kerugian.

Faktanya, sejak lebih dari satu dekade terakhir, sudah banyak pemain yang gulung tikar. Sebut saja Sony, HTC, Lenovo, Coolpad, Hisense, Honor, Meizu, Blackberry, Gionee, OnePlus, LG, dan Nokia.

Nasib yang sama juga menimpa brand lokal, seperti Nexian, HiMax, Mito, IMO, Andromax, Mixcon, Taxco, Evecoss dan Polytron.

Kecuali Advan yang belakangan banting stir ke bisnis laptop, semuanya sudah tutup usia digilas para pesaing dari China yang muncul bagai air bah.

Dengan surplus pemain, persaingan antar vendor untuk memperebutkan pangsa pasar semakin sengit.

Saat ini selain posisi top five yang dihuni oleh Oppo, Infinix, Vivo, Samsung, dan Xiaomi – di luar iPhone (Apple), terdapat sejumlah merek challenger yang berusaha tetap bertahan dan siap menyodok posisi puncak.

Deretan merek itu adalah Realme (mantan sub brand Oppo), ZTE/Nubia (ZTE Corporation), Poco dan Redmi (bagian dari Xiaomi Group), Sharp (Foxconn), IQOO (bagian dari Vivo), Asus, Tecno dan Itel (bagian dari Transsion Group).

Alhasil, dengan sesaknya pasar ponsel Indonesia oleh banyak pemain, tidak mudah bagi Honor untuk mencuri market share dari para pesaing yang sudah kelotokan.

  1. Solidnya Lima Pemain Teratas

Menjadi market leader, tentu menjadi impian bagi setiap vendor, termasuk Honor sang pendatang baru.

Dengan menjadi penguasa pasar, membuktikan bahwa popularitas brand telah dikenal dengan sangat baik, sehingga dapat mendorong penjualan.

Namun untuk mencapai posisi tersebut diperlukan upaya yang konsisten dalam mengerahkan semua sumber daya yang dimiliki.

Faktanya, tak ada proses yang instan. Kebanyakan brand membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk bisa berada di posisi elit tersebut.

Apalagi untuk menyodok posisi itu juga tidak mudah, mengingat solidnya lima pemain yang sudah lama bercokol.

Berdasarkan laporan IDC yang dipublikasikan pada Februari lalu, lima besar brand smartphone di Indonesia diisi mereka yang sudah kelotokan.

Transsion mampu menggamit sebanyak 18,3% pangsa pasar sepanjang 2024, berkat kuatnya pertumbuhan hingga 61,7% (YoY).

Vendor yang menaungi tiga merek smartphone (Infinix, Tecno, dan Itel) unggul atas Oppo yang harus puas di posisi runner-up.  Pangsa pasar Oppo berbeda tipis dengan Transsion, yaitu 17,8% (tumbuh 7,6%).

Berturut-turut  posisi selanjutnya diisi oleh Samsung dengan pangsa pasar 17,2%(minus 0,6%), Xiaomi 16,5% (tumbuh 28,4%), dan Vivo 16,2% (tumbuh 9,2%).

Kuatnya dominasi pemain di lima besar, hanya menyisakan pangsa pasar sebanyak 14,8% bagi para pemain lain.

Baca Juga: Pasar Smartphone Diprediksi Loyo Pada 2025, Mengapa Honor, Motorola dan ZUK Justru Kembali Ke Indonesia?

  1. Permintaan Smartphone Diprediksi Menurun

Kembalinya Honor ke Indonesia menjadi pertaruhan, mengingat pasar Indonesia tidak sedang baik-baik saja. Mengacu pada laporan IDC yang diterbitkan pada minggu ketiga februari  2025, pasar smartphone Indonesia memang mengalami pertumbuhan yang cukup signfikan sepanjang 2024.

Tercatat penjualan mencapai hampir 40 juta unit, tumbuh sebesar 15,5% secara tahunan.

Para vendor mengalami pertumbuhan yang kuat pada paruh pertama 2024 setelah selama tiga tahun sebelumnya mengalami penurunan yang cukup tajam, imbas pandemi covid-19.

Sayangnya, setelah mengalami rebound  sebanyak dua digit, IDC menilai pasar smartphone bakal terlihat suram pada 2025.

“Meskipun pasar mengalami pemulihan pada 2024 setelah beberapa tahun mengalami penurunan, kondisinya masih belum sepenuhnya stabil”, ujar Vanessa Aurelia, analis riset di IDC Indonesia.

Menurutnya, konsumen saat ini masih dilanda kecemasan menghadapi ketidakpastian politik dan ekonomi global. Alhasil, pertumbuhan pasar masih lebih banyak didorong oleh sisi pasokan, sementara permintaan tetap lesu.

“Dengan kondisi tersebut, diperkirakan pertumbuhan pada 2025 hanya akan berada di kisaran satu digit yang rendah,” pungkas Vanessa.

Hal itu diperparah dengan melemahnya daya beli masyarakat, khususnya kelas menengah dan menengah ke bawah. Imbas pendapatan dan tabungan yang kian menurun.

Dengan penjualan smartphone pada 2025 yang diprediksi anjlok di banding tahun sebelumnya, upaya Honor untuk mencuri pangsa pasar dari pemain lain tidak mudah.

Vendor yang berbasis di Shenzhen itu, perlu membuktikan diri layak dipilih oleh konsumen, di tengah kondisi ekonomi yang saat ini terbilang sulit dan memangkas daya beli masyarakat.

  1. Terbatasnya Ceruk Pasar Segmen Mid Range

Mengacu line up yang diperkenalkan Honor pada peluncurannya pada Februari lalu, terlihat bahwa brand yang sebelumnya merupakan sub brand  Huawei itu, memilih fokus pada segmen menengah (mid range).

Pertimbangan untuk lebih bermain di segmen menengah, memberikan sejumlah keuntungan. Pertama, margin segmen ini jauh lebih baik dibandingkan entry level yang lebih mengutamakan volume.

Kedua, persepsi brand yang jauh lebih baik. Fokus ke segmen menengah membuat citra merek Honor langsung meningkat, karena vendor yang bermain di segmen ini tentunya lebih mengutamakan kualitas dalam menggaet konsumen.

Ketiga, segmen menengah, yaitu smartphone di rentang harga Rp 3,2 jutaan hingga Rp 9,8 jutaan juga mengalami pertumbuhan yang kuat sepanjang 2024. Tak tanggung-tanggung, melonjak sebesar 24,9 % YoY, sesuai laporan IDC.

Di segmen yang terus tumbuh setiap tahunnya itu, merek di bawah BBK Group, Oppo tetap memimpin. Oppo telah menjadi penguasa segmen ini sejak beberapa tahun terakhir, berkat varian yang terbilang popular di Indonesia, Reno Series.

Meski memiliki prospek pasar yang cukup baik, faktanya segmen menengah hanya berkontribusi sekitar 25% pangsa pasar smartphone Indonesia. Sejauh ini, segmen entry level masih mendominasi permintaan, mencapai sekitar 55% pangsa pasar nasional.

Segmen untuk pemula seharga Rp  2 jutaan itu, menjadi primadona bagi kebanyakan konsumen di Indonesia, seiring dengan menurunnya daya beli masyarakat.

Segmen ini menjadi andalan bagi konsumen yang mencari perangkat dengan harga terjangkau namun memiliki fitur memadai.

Meski menawarkan banyak keuntungan, namun memilih fokus pada perangkat kelas menengah, dengan sendirinya potensi pasar Honor menjadi terbatas.

Faktanya, sejumlah brand yang berada di posisi lima besar, seperti Oppo, Xiaomi, Vivo, dan Samsung, hingga kini masih mengandalkan penjualan smartphone kelas entry level, khususnya sebagai upaya mendongkrak pangsa pasar.

  1. Ekuitas Merek yang Masih Perlu Ditingkatkan

Tak dapat dipungkiri, pasca berpisah dengan Huawei imbas sanksi AS pada 2020, Honor telah menjelma menjadi brand smartphone yang semakin diperhitungkan.

Tengok saja pencapaian vendor yang kini dimiliki konsorsium Shenzhen Zhixin New Information Technology itu, khususnya di pasar dalam negeri.

Riset terbaru Canalys mengungkap bahwa sebanyak 285 juta unit smartphone terserap di pasar China sepanjang 2024.

Angka itu menandai pemulihan setelah dua tahun mengalami penurunan dengan pertumbuhan tahun-ke-tahun yang moderat sebesar 4%.

Vivo memimpin pasar disusul Huawei berada di peringkat kedua dengan. Apple, Oppo, dan Honor menyusul di posisi ketiga, keempat, dan kelima, masing-masing menguasai pangsa pasar 15%.

Pencapaian itu menunjukkan, Honor tetap menjadi salah satu dari lima OEM teratas di tengah persaingan yang ketat. Vendor tersebut berfokus pada diferensiasi dan inovasi produk sambil meraih pertumbuhan di luar negeri.

Menjadi lima vendor teratas di China, tentu menjadi modal bagi Honor untuk bisa menaklukkan pasar Indonesia. Apalagi sejatinya, Honor bukan merek baru.

Sebelum keputusan hengkang pada 2019, sebagian masyarakat Indonesia mungkin telah mengenal Honor. Sehingga brand yang identik dengan desain stylish dan fitur canggih itu, hanya perlu meningkatkan kembali brand awareness yang sebelumnya telah tercipta.

Meski demikian,  dalam hal ekuitas merek, Honor tentunya harus membangun seperti dari nol, yang membutuhkan konsistensi.

Untuk diketahui, ekuitas merek adalah loyalitas, persepsi, dan kesadaran pelanggan terhadap suatu merek.

Ekuitas merek dapat diciptakan dalam jangka waktu tertentu dengan menawarkan produk yang memberikan pengalaman berkesan, kualitas yang sangat baik, dan produk yang sangat dapat diandalkan bagi pelanggannya.

Ekuitas merek yang tinggi, mendorong popularitas sehingga bisa berujung pada predikat sebagai merek favorit atau TOM (Top of Mind).

Dengan menyandang predikat sebagai merek favorit, ada banyak keuntungan yang diraih. Misalnya, dalam hal kekuatan persepsi (perceive equity), merek-merek favorit sering kali lebih dipercaya oleh konsumen.

Begitu pun dalam kampanye pemasaran, semakin banyak orang yang mengetahui, maka pesan yang diterima akan jauh lebih banyak. Sehingga persepsi publik akan lebih berkesan melebihi produk kompetitor.

Dari sisi PR (public relation), saat brand sudah menjadi pilihan nomor satu banyak orang, akan lebih mudah untuk menarik liputan media massa. Sehingga publikasi akan lebih massif menjangkau banyak segmen masyarakat.

Keuntungan lain menjadi merek favorit adalah peringkat pencarian yang melonjak. Jika banyak orang mencari brand tersebut di search engine seperti Google, micro blogging (Youtube), atau sosmed (IG dan TikTok) akan meningkatkan posisi situs untuk keyword terkait.

Dengan berbagai kelebihan itu, merek-merek favorit memiliki kesempatan lebih banyak dalam mempertahankan atau mengaet konsumen yang sebelumnya bisa jadi merupakan pengguna dari merek pesaing.

Inilah yang menjadi tantangan Honor. Menawarkan produk yang bagus, harga menarik, dan layanan prima menjadi salah satu kunci dalam upaya meningkatkan ekuitas merek.

Jika ekuitas merek sudah tercipta, maka konsumen bersedia membayar lebih dari biasanya untuk membeli barang dan jasa dari perangkat-perangkat yang ditawarkan Honor, dibandingkan merek lain dengan kualitas dan nilai yang sama.

Baca Juga: 6 Alasan Mengapa Anda Layak Membeli Smartphone Honor

Page: 1 2

Tags: 5 Tantangan Berat Honor honor Honor Kembali ke Indonesia Tantangan Honor
Uday Rayana