Program serupa, yang sudah berakhir pada April lalu, pernah berlangsung dengan oleh U.S. Departement of Defense (DoD) bersama HackerOne.
Melalui program tersebut, terdapat 14 perusahaan yang berpartisipasi dengan 141 aset.
Namun, perluasan program kembali mereka lakukan dengan melibatkabn 41 perusahaan dengan 348 aset.
Secara keseluruhan, HackerOne mengirim 288 penelitinya dan memberikan 1.015 laporan.
Dari 401 laporan yang terpilih, semuanya mereka anggap dapat mereka lanjutkan untuk mencari solusi atau tambalan keamanan pada sistem.
Program yang berlangsung selama 12 hari tersebut berbeda dengan sayembara kali ini.
Hal ini lantaran tantangan yang mereka berikan akan mendapat hadiah uang sebagai bentuk apresiasi.
“Tentu ada solusi teknologi keamanan yang terus mereka temukan dan pakai,” kata pendiri crowdsourced cybersecurity platform Bugcrowd Casey Ellis, melansir The Register, Senin (11/7/2022).
“Namun, pada akhirnya keamanan siber menjadi masalah manusia paling mendasar,” sambungnya.
“Oleh karena itu, manusia yang berkemungkinan besar memainkan peran untuk mempertahankan internet,” imbuhnya.
Baca juga: Ecovacs Robotics Rilis Robot Vacuum Pembersih Lantai Bernama Deebot T10
Pasar yang menjanjikan
Program bug bounty ini sudah banyak berbagai perusahaan teknologi kenamaan lainnya terapkan, seperti Micrsoft, Google, hingga Apple.
Dalam kasus ini, Microsoft pernah membuka sayembara berburu bug pada perangkat game konsol Xbox dengan total hadiah mencapai Rp 237,7 juta.
Program yang punya dampak signifikan terhadap berbagai perusahaan ini dapat menjadi peluang pasar yang menjanjikan.
Menurut laporan All the Research, pasar bug bounty tercatat tumbuh 223,1 juta dollar AS (Rp 3,3 triliun) pada 2020.
Baca juga: Daftar Twibbon Hari Janda Internasional, Simak Sejarahnya hingga PBB Mencetuskan
This website uses cookies.